Selasa, 30 Juli 2013

Doctor Fish... dimana kalian???

lokasi kali kecil di dusun Bentaur - Desa Medas, Lombok Barat
Kilas cerita....,
Sekitar 3 bulan lalu, saya punya agenda khusus buat 2 bocah di rumah. Gingga dan adiknya Fathir. Apalagi kalo bukan akibat rongrong mereka kepingin main air di Kura-Kura Water Park Lombok. Sekali-dua mungkin gak papa. Tapi kalo nuntut sering, wah! ini sih bakal menguras isi dompet. Kans arus kas keluar. Laju sirkulasi wajib bendung, Hehe....,
Saya-pun susun strategi. Bikin pengalihan tematik serupa. Opsi poin utama-nya, tetap saja. Di upayakan muatan wawasan lingkungan. Dekat dengan habitat alam terbuka. Outdoor educated. Minimalisasi kadar budget konvensional. Tapi tidak mengurangi keceriaan energi bocah. Anggap ini bimbingan belajar non-formal. Lately, saya lagi tekuni biking, saya jadi punya referensi varian spot lokasi kunjung. Berhubung judul air, maka saya menggiring mereka pada wacana sungai kecil (Creek). Lokasi jenguk kali ini ada di dataran tinggi level sedang dari hamparan lansekap kota. Hanya berdurasi tempuh 4 Km dari rumah. Full arsip foto my Kids on the Creek

size 6-8 cm.. bersungut pendek
Kenapa Dokter Fish?
Bukan tanpa alasan kenapa mau telisik si Ikan Dokter. Sebenarnya masih rangkai rasa penasaran yang belum terpenuhi dari obsesi ingin tau sebelumnya. Sejak lihat outlet khusus terapi ikan dokter, Garra rufa. Spesies pisces air tawar asal Turki. Artinya ikan ini khusus di impor dari negara asalnya. Dan perkembangan terapi ikan ini rasanya begitu menjamur. Hampir di kota-kota besar di Jawa. Paling tidak yang pernah saya liat langsung di Semarang dan Malang. Kisaran antara tahun 2004-2005. Kebanyakan gerai outlet yang ada di Mall pusat perbelanjaan. Bisa jadi saat itu merupakan awal trend si Doctor fish masuk di Indonesia. Karena awal kejutan, jadi wajar kalau harga terapi cost-nya cukup terbilang mahal. Berbeda dengan perkembangan berikutnya. Ketika secara semangat nasionalisme mulai kambuh. Runut beberapa kanal referensi internet, kini telah bertebaran banyak pusat lokasi terapi di tanah air. Tidak lagi di mall dan swalayan besar. Namun digelar di lokasi tertentu. Jauh dari kota yang penat, lebih memilih penempatan lokasi pinggiran, bahkan pegunungan. Sekalian menyisipkan wacana wisata dan relaksasi khas sub-urban. Dan bagusnya lagi, telah dikenalkan pada khalayak perihal doctor fish lokal. Paling sering di sebut ikan Nilem. Sama biota air tawar. Secara fisik, memiliki rupa tubuh dengan formasi sisik serupa dengan Garra rufa. Bibir dilengkapi sungut pendek, Hanya beda signifikan pada bentuk tubuh. Nilem agak lebih oval diperforma perut. Garra rufa langsing memanjang. Pasti-nya tidak memiliki gigi pencabik mangsa. Sebab bukan tipe ikan carnivora. Serupa ikan mas ataupun karper. Tabiat utama suka menghisap makanan yang ada di dasaran (substrate). Ciri nilem dikatakan mulut-nya berkerinyit (seperti bentuk sikat halus). Demikian hal-nya ikan garra rufa. Memudahkan mereka untuk melahap makanan yang menempel pada permukaan benda lain di air. Semisal lumut pada batu.

acara gowes dan baur sungai kecil
Hasil nihil. Gak ada spesimen identik yang mendekati rendaman tubuh kami. Bahkan dalam rentang kunjung berikutnya, sengaja saya berbekal goggles agar mudah celingukan bawah air. Identifikasi spesies. Cuma terlihat dominasi beberapa ekor wader. Bergerak lincah air dalam dekat kucuran air deras. Tubuh transparan dan sisik gemerlap. Ada juga jenis ikan lain. Size lebih kecil 3-5 Cm dual tone abu-hitam. Tabiat nyisip di dasar dan celah batu, menghindari arus. Belum sempat terdeteksi jenis or nama lokal.

Referensi Film dan pengalaman Survey
cover pilem cukup gamblang pilih Ikon Ikan & sepatu
Tingkah polah garra rufa memang unik. Begitu ada pasien terapi yang langsung membenamkan anggota atawa seluruh tubuh, secara kompak mereka langsung kerubuti. Melahap jaringan kulit mati. Disela jari maupun kujur tubuh. Pastinya saat tubuh kita benamkan dalam air kondisi permukaan kulit bakal berangsur rentan lembab. Memudahkan proses sedot santap. Selanjutnya dari aktivitas sucking, para fish dokter ini menghasilkan enzim dithranol (Antralin). Memberi efek micro massage sekaligus micro pelling effect. Alias tukang pijet kenyot. Disinyalir memberi banyak manfaat bagi kesehatan manusia.
Konon begitu. Padahal jauh sebelum trend dokter fish merebak, fenomena ikan menyantap jaringan kulit mati juga pernah saya. Bahkan mungkin semua pada tau. Tonton saja pilem karya sineas asal Iran, Majid Majidi. Judulnya "Children of Heaven" Alurnya cerita sangat ringan dan human being. Menawan..syarat pesan kemanusiaan. Topik utama hanya pada sepatu (point of interest). Pengalaman mengharukan dan sangat menyentuh dari kakak-adik (keluarga miskin), Ali dan Zahra. Kasus sepatu Zahra hilang, lalu di siasati dengan saling tukar pakai diantara ke-2nya untuk keperluan sekolah. Hingga tiba momentum kejuaraan lari, Ali antusias ikut sebagai peserta, lantaran bagi juara ke-3 tersedia hadiah sepatu. Demi menyenangkan si adik. Stamina Ali terbentuk prima. Akibat hampir tiap hari kalang-kabut lari demi bergantian sepatu, shift masuk kelas beda waktu. Sehingga saat test uji calon peserta lomba (wakil sekolah), dan Ali terpilih. Segmen lomba terlihat Ali mampu menyusul peserta lain. Hanya ketika dekati garis finish, dia mulai atur langkah perlahan. Berusaha menempatkan diri di urutan 3. Naas-nya dia tersenggol peserta lain, dan sempat terjerembab. Ali segera bangkit dan berlari sekencang mungkin. Malah pertama masuki garis finih. Berhamburan guru dan teman sekolah menyambut gembira. Eh, si Ali malah menangis sedih akibat gak dapet hadiah yang jadi target awal. Segmen sequel yang kontradiktif. Sangat mengharukan. Puncak-nya, ditutup Ali yang merendam kaki di kolam. Jemari kaki lepuh akibat lari bekal sepatu butut. Secara dramatik disinilah bumbu visual paling menggugah dan menebar pesan moral terdalam. Ikan-ikan di kolam itu berdatangan kerubuti kaki Ali. Perjuangan penuh makna!
Nah, di adegan buntut itu jadi tampak bahwa ikan mas hias (Fancy golden fish) juga memiliki prilaku sama dengan garra rufa. Tingkah pola biota yang sebenarnya lumrah. Tapi jika dikemas-saji secara apik oleh sineas cerdas, bakal menjadi pesan cantik. Nyentuh kalbu.


cuma ilustrasi.. program susur sungai
Next, kisah menarik lain. Justru saya alami saat saya bergabung di kegiatan survey Sungai. Sekitar pertengahan taon 2008. Kebetulan, dari link teman asal semarang ada yang menangkan tender proyek dinas PU propinsi NTB  berjudul "Penyusunan DataBase Sungai". Liput kawasan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan kabupaten Sumbawa.
Secara hirarki, saya rangkap multi tugas. Pemandu lokal, tukang jepret, sopir. Tentunya ikutan praktek bikin cagak-bungkul  bench-mark (BM). Di cetak secara langsung on the spot. Macem Pal penunjuk Kilometer pinggir jalan. Selanjutnya di geo-tagging via perangkat GPS. Mengukur lebar sungai dan sedikit catatan tambahan point of interest lain. Lebih sebagai catatan pribadi seperti yang acap lakukan dalam ritual anjangsana lokasi.
Meliput banyak alur sungai, embung, bendungan, hingga telusuri pelosok pedalaman selatan pulau Sumbawa. Khazanah jadi tambun dan variatif. Seperti ketika kami menyusup jauh di selatan kecamatan Empang. Gak ada aspal, kecuali pembukaan makadam berlanjut liuk setapak tanah. Menanjak bukit cadas miring 45 derajat! Sempat-sempatnya saya jungkir balik akibat nuntun motor dan tarikan gas yang kelewat penuh. Ketemu pemburu tradisional yang di iringi pasukan anjing pemburu sekaligus pelacak handal. Fenomena ilegang lodging dan tegakan rupa pohon yang selama ini cuma saya kenal nama sekedar tau dari buku.
Lain pula saat datangi wilayah Labangka. Kawasan ini terbagi atas pembagian 5 zona. Cukup luas hampar lansekap-nya. Merupakan pengembangan areal transmigrasi yang didominasi oleh warga asal Lombok. Kami beraksi model padat-karya. Siang-malam bergerak memaksimalkan efisiensi jatah waktu. Cukup melelahkan tenteng sak semen di kegelapan dan menembus rimbun semak tentukan posisi bench-mark ideal. Cuma berandalkan sorot senter. Sesekali diwarnai bunyi.."grak-gruk..grak-gruk" dengus babi hutan. Sedikit was-was. Lantaran memori saya sudah rekam bekal kisah. Konon babi hutan yang galak/buas adalah jenis yang pernah terluka akibat sabetan parang atau tusukan tombak yang tidak terlalu dalam. Alias gak terbunuh. Jika luka beranjak pulih dan mulai kering, kulit si babi hutan menjadi gatal. Membuatnya berubah beringas. Agresif serang manusia. Mungkin saking susah garuk badan sendiri. Or bisa jadi jadi pelampiasan akibat proses perburuan warga yang pernah gagal. Pengalaman mendebarkan sekaligus seru. Aina'... mantap benarr!!!!
Ada kisah sedih, ketika kami tiba di ujung batas pesisir areal Labangka 5. Kami disertai oknum lokal sebagai pemandu. Pantai-nya khas kawasan selatan. Berpasir di gunduk atas, selanjutnya garis pesisir berupa gorong-gorong batu cadas. Khas struktur break-water natural.  Gak bisa diabaikan, serangan agas bikin gatal luar biasa. Serang kujur permukaan kulit terbuka tanpa proteksi suit. Muara disini tidak lebar sama sekali. Bentang lebar 3 meter. Bahkan berupa genangan saat debit air rendah. Tidak terhubung sambung laut. Kecuali saat musim hujan. Kalo-pun menjadi daftar observasi karena alur anak sungai itu menjadi stok ketersedian air minum bagi warga disekitarnya. Belakangan kami baru paham kenapa pak camat sampai perlu membekali kurir pemandu khusus. Ternyata baru seminggu lewat, ada kejadian 1 warga yang tewas diserang buaya. Paska hujan, orang itu menjaring ikan di muara cilik tadi. Sehari semalam gak kunjung pulang, akhirnya keluarga berinisiatif mencari. Ternyata mendapati jasad mengambang dipermukaan air. Pangkal selangkangan terkoyak dengan isi perut rongga-hampa. Sekaligus saya peroleh pengetahuan tabiat serang predator air itu. Metode caplok-nya mengarah titik lemah tubuh. Bergelinjang sensasi liar siksa korban hinggga mati kelelahan dan atau sengaja seret dalam air. Biar kelelep! Dan itu sudah cara lazim tehnik buaya melumpuhkan mangsa. Selanjutnya seruput jeroan perut korban sebagai menu pembuka. Sebab itu bagian empuk untuk langsung diganyang. Adapun sisa tubuh korban (hewan or manusia) akan di selip-rendam diantara akar yang bersinggungan air. Trik alamiah percepat proses pembusukan, dan sajian daging 'empuk' siap koyak sudah tersedia untuk menu lanjutan. Ngeri sih... tapi cukuplah sebagai imbuh catatan saja. Waspadalah...,
Malamnya kami inap di rumah dinas Camat Labangka. Persis bersebelahan kantor. Berada di rata ketinggian dan menghadap langsung arah Samudra Indonesia. Membuat kami gegas terlelap. Diganjar lelah seharian dan terpa hawa dingin hantaran angin samudra. sensasi Air Conditioner yang betul-betul alamiah.
Beda lagi saat menyusur sungai Sepayung yang menjorok liuk hingga tembus muara dan bilangan petak luas tambak. Masih bersentuhan dengan wilayah utara Empang. Air cenderung payau warna pekat. Hal yang unik disini malah kami temui 1 sumber mata air tawar yang disebut orang lokal sebagai "Dewa Botel". Sangat kontras dengan air permukaan yang dominan payau dan bahkan asin. Mata air ini semacam artesis yang nongol luber permukaan. Bahkan sudah dibenahi dengan membenamkan pipa diameter besar sebagai cerobong luapan-nya. Disekitarnya tampak banyak kerbau berkubang. Dan terlepas dari apapun faktor warna mitos. Syahdan, lokasi ini tetap menjadi zona khusus dari keluarga ningrat Sumbawa. Punya tradisi temurun memandikan jabang bayi baru lahir dari garis trah keluarga sebagai ketentuan syarat yang wajib dilakukan. Pantang untuk dilanggar.
Padatnya jadwal survey, akhirnya kudu kesampingkan niat saya meliput kegiatan masyarakat lokal yang tidak kalah menarik. Produksi khas terasi Empang. Udang pesisir disini terkenal lebih gurih. Bisa jadi akibat belum tinggi tingkat cemar limbah akut. Beda jauh dibanding rasa terasi jawa asal olahan rebon jalur Pantura. Yah sudah lah! urungkan hasrat itu demi tabungan obsesi trip berikutnya, kelak.

zoom Google Earth diatas kecamatan Utan - Sumbawa. Alur sungai Brang Utan.
Nama-nya survey sungai, sudah pasti ada selingan basah kuyup. Lengket peluh selama tempuh alur trip dan terpaan terik nanar mentari. Ogah pake lotion tabir surya. Senantiasa kami bilas mandi kali. Suweeger tiada tara....., Semacam  recharging, energi terbarukan paska gerilya di luasan kerontang sabana.
Yang paling berkesan justru saat hinggap disungai besar yang membelah lintas kecamatan Utan. Sungai Sekokok...sebagian menyebut istilah Brang Utan*. Secara koordinat titik geografis tertera di inset. Observasi di alur sungai ini menjadi salah1 prioritas penting yang diharapkan dari Dinas PU. Karena saking seringnya mengalami musibah banjir saat musim hujan tiba. Dari laporan database ini diharapkan muncul rekomendasi bentuk kegiatan apa yang perlu dilakukan disana. Hasil trek info adalah bakal di canangkan upaya proyek normalisasi sungai. Padahal proyek bronjong tahun sebelumnya tanpa meninggalkan jejak sisa. Akibat Tergerus laju banjir terakhir. 
Gambaran fisik brang Utan, memiliki kontur bebatuan besar-kecil. Spot yang kami tancap BM adalah lokasi zona kelokan terparah yang mengalami gerus erosi. Ukur lebar antar tepi bantaran hampir capai 70m. Saat kondisi debit air level rendah, tubuh alur sungai hanya terisi sekitar lebar 15 meter saja. Dari pantauan kondisi real, zona ini menjadi pusat lokasi penambangan batu kali.Tampak jelas jejak seliweran lintas roda dump truk. Bahkan satu sisi daya gerus banjir telah mencapai batas lahan kebun warga. Cuma tampak jajaran pohon pisang. Minim sekali vegetasi penguatan garis bantaran. Jadi wajar klo tiap tahun menuai efek banjir dari subsidi laju air kiriman up-land.
Sudah sikon miris gitu kog malah bisa saya bilang justru berkesan? Saya gak ada bayangan sama sekali bakal muncul rekomendasi dan langkah penanggulangan apa lagi untuk kawasan kondisi kontradiktif macem gitu. Nanar terik..lagi-lagi aura sabana. Gak menyisakan teduh kanopi tajuk alami pepohonan. Berbaur dengan  gelintir papin (**), kami-pun celup tubuh di sirkulasi laju air bening. Bunyi gemericik zig-zag diantara formasi acak tonjolan batu besar. Sambil sandar batu saya berusaha resapi nikmat sensasi hidayah alam. Eh! lagi enak-enak selonjor mendadak saya geliat kegelian. Rasa geli itu berkelibat di antara kaki dan paha. Ternyata ulah ikan-ikan kecil! Entah mereka sedang gerogoti biang panu atau parasit kulit. Langsung saja saya terbahak senang. Pengalihan daya magis kata singkat  "Eureka".
Teringat konter garra rufa di mall Mataram. Si ikan fenomenal itu ternyata saya temukan disini. WOW... jauh-jauh garra rufa di-import dari negri Turki. Trus kenapa gak pernah tergerak menciptakan peluang dan optimalisasi kekayaan biota negri sendiri. 100% saya bergumam... kebangetan klo otorita pemda lokal gak pernah menyadari aset biota endemik-nya. Semacam alternatif memberdayakan terapi ikan nilem yang ada di Jawa sekitarnya.
Perihal spesies saya belum tau persis. Yang jelas "Pisces utanensis" mungil itu bertubuh mirip garra rufa. Condong panjang langsing dan tidak mirip profil si Nilem. Tubuh Transparan... dan terlihat tipikal sukai air deras. Bahkan saking senangnya, julukan lokal-nya saya sampe lupa. Padahal papin mitra rendam kami tadi sudah sebut gamblang. Pikiran saya langsung fresh.. tidak lagi galau digayut kata banjir bandang. Statistik angka kerugian... maupun konsonan petaka. Ada peluang yang terabaikan di sungai ini. Opini penyeimbang....,

Kemiripan spesimen Laut
ikan Kambingan, Mullidae
Sekarang mari telusur baur biota...,
Secara tingkat persistensi spesies dan family jelas beda. Anggap saja secara taksonomi, trah klasifikasi ilmiah di runut tingkat Ordo. Meski berbeda pula tipe habitat air, Tawar dan Asin. Kalo di amati seksama kelangkapan perangkat tubuh, ciri khas pembeda antar 1 jenis ikan dengan lain-nya. Sampe kemiripan prilaku. Paling tidak ada 3 tipe spesies laut terhimpun di figur Garra rufa (tipe lokal utan) disingkat Gr. Saya gak bisa menjadikan acuan Garra rufa asal Turki, soalnya melihat mereka sebatas etalase aquarium. Bukan di habitat alami mereka. Hehehe....., prediksi sementara saya anggep Gr lokal dan Gr Turki mirip.
1. Jika dipadankan tipe kulit transparan, Gr  mirip dengan kelompok ikan cardinal. atau family Apogonidae. Hanya saja apogon tipe statis. Cenderung pemalu. Ngumpet dan berlindung disekitar teritorialnya jika di dekati. Kontras dengan Gr. Tetap mempunyai teritori tersendiri di balik bebatuan. Tapi cukup friendly dekati manusia.
cleaner wrasse membersihkan mulut ikan Sweat lips.
2. Jika melihat bentuk sungut. Gr mirip sekali dengan tampang Goat fish. Kelompok Mullidae. Lokal sasak menyebutnya ikan Jenggotan atau Kambingan. Gr bersungut pendek, sedang goat fish lebih panjang. Artinya ada kemiripan mereka cara cari makan. Memilah dasaran substrate dengan mengandalkan kinerja sungut. Log sucker istilah keren-nya.
3. Ditilik dari kemampuan adaptasi uniknya. Bagi saya prilaku Gr seperti di anugerahi hidayah khusus, seolah rela bersimbiosis "sementara waktu" dengan mahluk lain (manusia). Meski hanya sekedar rela jadi tukang pembersih. Bak staf cleaning service yang ramah! Di kelompok biota laut. Tabiat penuh pengabdian ini dimiliki oleh kelompok Cleaner Fish. inset samping tampak si mungil Cleaner Wrasse, Labroides dimiatus. Ada juga ikan lain semisal Remora yang nebeng di tubuh sekelompok Hiu. Mereka penggganyang parasit yang menempel di biota induk semang.
Poin ke-3 ini menggambarkan betapa unik bila tatanan sebuah ekosistem bisa terjalin dengan dinamis. Toh gambaran pola simbiosis mutualism juga banyak kita lihat di zona darat. Burung jalak hitam atau bangau yang senang mencari 'kutu' di punggung kerbau. Bahkan jenis burung lahan basah yang ambil peran jadi perawat gigi bagi taring di rahang nganga para buaya.

Jadi, betapa komplit dunia fauna. Baik darat dan perairan...,
Adakah nikmat Tuhan yang patut di dustai?
Ada Doctor Fish.... ada pula Dentist Bird. 



Catatan :
* Brang = istilah lokal menyebut sungai
** Papin = istilah penyebutan lokal untuk kakek tua 

Kamis, 25 Juli 2013

kumat Mancing.........,

Lokasi : bilangan tambak tanjung Luar - LoTim
Memancing tentu menjadi semacam hobi menyenangkan bagi sebagian penggemarnya. Konon bukan sekedar kemampuan finansial bagi yang menganggap sebagai penyaluran olahraga, sport fishing. Sekaligus wadah melatih kesabaran, insting dan sensasi strike. Hingga kepuasan mampu menaklukkan ikan buruan. Faktor yang gak bisa dipungkiri, tentu saja faktor nasib. 
Nah, soal pancing memancing buat saya pribadi semacam kegiatan yang susah dijadikan tolak ukur. Dulu, masa SD dan SMP, saya pernah gandrungi aktivitas ini. Tentu diawali akibat gaul dengan teman sepermainan, sekolah dan lingkungan rumah. Mulai dari sekedar bikin kolam kecil dan menangkap ikan sekedar pake cakupan tangan. Itupun sekedar jenis ikan kepala timah (iwak gathul : versi jawa). Yang banyak bertebaran di selokan dan lahan basah (wetland) tengah kota saat era bocah di Sumbawa Besar. Lalu sejak pindah Lombok, aktivitas mancing jadi intens dan kerap tersalur, lantaran kami tinggal di rumah keluarga yang punya banyak petakan kolam air tawar. So, memancing menjadi sirkulasi mutualism tabiat-habitat. 


lokasi : tonggak eks pelabuhan Ampenan
Beranjak mulai kenal joran dan reel perdana, saat SMP di Malang. Memancing menjadi acara pengisi hari libur. Tapi sudah agak mix dengan kegiatan lain. Biking dan berburu burung dengan air rifle. Saya menjadi punya kegiatan jelajah di kanal kecil di zona pinggiran kota. Paling jarang ikutan di kolam berbayar. Masalahnya sangu cekak! Kalopun bawa untuk sekedar beli jajan. Saya dan rekan lebih cari suasana bermain dan doyan kelayapan. Cukup melihat peluang survival ala kadar di habitat alam terbuka. Jenis yang disasar gak ada lain ikan lele, dan paling sering Kotes. Masih satu family dengan gabus atawa Tomman. Jika berhasil dapat tangkapan, paling ujung-ujungnya cemplung di kolam kecil rumah. Perbendaharaan sementara. Yah, paling apes berakhir di wajan penggorengan. Jadi tambahan santap kuliner jatah melek malam minggu dengan para misan yang tandang rumah.

Masa itu akhrnya berlalu ringkas. Paska SMA , waktu bergulir hingga saya balik lagi ke Mataram - Lombok. Bekal pancing sejak saya pake sejak SMP ikut dibawa. Itupun tidak banyak fungsi. Akhirnya beralih hak milik. Alias di pinjam teman, tapi gak pernah kembali, selama-nya! Padahal perangkat 1 set seharga Rp 15.000,- begitu banyak menyimpan kenangan petualangan. Melow yang terlambat. Hahaha....,
 Sejak itu, memancing seperti tidak pernah lagi saya tekuni. Semacam pengalihan alibi abnormal. Ah, ngapain lagi berkutat aktivitas bocah. Ego janggal... ah! toh dulu pernah lakukan itu. Bosan! konsentrasi jenuh. Pengalihan berikutnya memang saya lebih kecantol hobi lain, Drawing. Bukan aktivitas baru sih, justru berdayakan energi curiosita yang terbentuk sejak awal. Hidayah talenta barangkali. Dan kebetulan masih awal kuliah di bidang Komputasi. Sama sekali gak kepingin jajal jagat perpancingan. Padahal di Lombok, gak perlu jauh-jauh mencari spot lokasi. Baik tawar maupun laut. Terjangkau dari segi waktu dan biaya.


Jeda panjang...., 
Masa awal 92'an seolah era kegelapan untuk urusan mancing. Tapi bukan berarti saya sama sekali gak bersinggungan dengan dunia ikan. Justru pindah bermukim, "menjauh" dari ortu dan ikut bude di Lombok, saya kecipratan aktivitas baru. Kebetulan di lokasi saya bernaung, juga berkutat sekretariat Klub Penyelaman. Nama-nya Rinjani Diving Club. Otomatis terbentuk secara dampak lingkungan. Olahraga renang menjadi menu tiap minggu. Pembentukan mental dan kawah candradimuka yang 'beda'. Dari sekedar memperbaiki gaya renang standar, bukan lagi 'asal' gaya kali. Perkenalan alat snorkeling hingga scuba. Menekuni profesi sebagai dive-guide. Sampai melakukan pekerjaan lain bersifat komersial diving meski tetap berbasis perangkat Scuba. Mencari jangkar kapal feri yang hilang, membersihkan bagian lambung feri maupun yacht milik orang bule. Pembersihan as alur propeler kapal feri yang ngadat akibat disusupi jaring nelayan. Pekerjaan salvage ala kadar... pekerjaan inspeksi bawah air. Dokumentasi foto, dan masih sederet item pekerjan lain. Di lingkup aksi sosial paling-paling tergabung dalam tim SAR. Utamanya bila ada kecelakaan laut yang dialami kapal penumpang. Memburu beberapa jasad korban yang tersangkut di kapal karam. Semua-nya memberi warna tersendiri. Komplit suka-duka yang mengiringi-nya.    



that's me, tubir miring terumbu gili Lawang - Lombok Timur.
FACE TO FISH...., Bertatap langsung dengan biota dalam air? tentu saja!!! Justru sejak geluti olahraga selam saya jadi leluasa bercengkrama dengan mahluk air. Tidak lagi sekedar ikan. Tapi beberapa biota khas lain. Tetap menjanjikan wawasan edukasi lingkungan.
Apalagi ketika dapat pembekalan MPTK (Metode Penelitian Terumbu Karang). Semacam pakem standarisasi tehnis sensus karang dan ikan. Betapa pengkayaan materi itu kian menambah khazanah dunia Bahari. Paham... dan sekaligus memupuk rasa peduli. Cara pendekatan yang perlahan terbentuk oleh porsi simbiosis mutualism. Secara gak langsung seolah tertanam solidaritas. Terpatri bak doktrin dengan cara tersendiri. Namun bukan berarti saya antipati makan ikan. Lalu latah jadi mahluk herbivora binti vegetarian. Enggak lah! Masih taraf normal paham nilai gizi dan protein. Betapa lebih gurih ikan segar. Daripada ganyang isi sarden kaleng maupun ikan asin. 

dengan pose gini... serasa saya menjelma profile mbok jamu
Beda-nya gini.., kalo dulu mancing gak peduli jenis apapun yang terangkat kail. Kini lebih mawas dan bisa pilah-pilih. Artinya jenis apa yang enak. Ambil dengan size ideal... jangan sasar indukan dan tipe baby-fish. Tehnik buru juga beda. lebih mengandalkan spear-gun. Alias panah ikan. Sisi efektif-nya, di dukung peralatan scuba kami bisa lebih leluasa cari spot ikan potensial. Sementara jatah Night Dive dilakukan untuk mencari lobster di ceruk dan liang karang identik persembunyiannya. 


di karamba stingray.. pastinya itu bukan Steve Irwin

Memancing, perlahan mulai saya gemari lagi. Terhitung sejak tahun 2000 ke-atas. Tapi tidak dengan kecenderungan drastis. Minat kambuh gara-gara liat para boat-man selalu mengisi luang disaat perahu yang kami gunakan survey kegiatan laut. Selagi beberapa surveyor meneliti parameter kondisi air. Saya nyemplung dasar laut atau sekedar pengamatan via aksi snorkeling. Iseng, para boatman dan kernet-nya mulai memancing. Seloroh umum yang mereka ucapkan, "maeh, poroq-poroq boyak empak kadu kanduk" * 
Sirkulasi ini semacam melahirkan pencerahan pembaharu buat saya. Betapa mereka masih berpikir alternatif membawa "sesuatu" bekal pulang untuk sekedar penuhi asupan gizi keluarga. Hanya bekal metode standar. Pancing dasar tipe hand-line untuk buru ikan dasaran substrate. Dan biasa disambi mancing ikan pelagis. Target kuwe alias jack** dan Tengiri. Tangkapan ikan dasar yang berukuran kecil/medium kerap langsung dijadikan umpan hidup. Menggugah minat jajal. Pematik hal baru. Metode sahaja dan beda cara tangkap acap justru memancing reaktif.


lokasi : embung jalan Airlangga - Mataram
Setidaknya, daya perca mozaik visual tadi semakin akut. Tiap ada kesempatan saya mulai ikut mancing, selagi tidak usik porsi kerja utama. Sekedar pancing dasar ala hand-line. Cukup menyenangkan. Perlahan saya mulai bisa menikmati. Seperti mengulas titian memori, 'benang-merah' masa bocah dulu. Betapa asyik-nya jalani peran si Bolang

Satu sisi saya mulai paham, selama ini kenapa saya jadi ogah tekuni hobi ini. Ternyata selain alasan butuh waktu tersendiri, memancing juga perlu konsentrasi dan kesabaran tingkat tertentu. Kita gak akan pernah bisa merasakan esensi-nya jika masih dibaur dengan kegiatan lain. Apalagi di jatah waktu yang bersamaan. Non sense terlaksana ! Inti-nya, cuma memperkuat tekun dan niat. Tujuan mancing, yah sudah mancing saja. Jangan tergerak belah fokus lakukan aktivitas lain. Sesederhana itu saja, tanpa ada perasaan sesal sekalipun hasil boncos. Hasil hampa tanpa tangkapan sekalipun. Justru malah menimbulkan efek penasaran lagi, seolah terpatri sugesti 'next will be better'.
 

Syukurnya, saya mulai ada teman yang memang benaran demen mancing. Awal saya masih pinjam perangkat. Belakangan mulai tergerak beli sendiri. Alasannya lebih baik mengenal akrab alat pribadi. Kalaupun ada resiko alat rusak, itu sudah menjadi konsekuensi. Perlahan saya mulai doyan keluar-masuk toko pancing. Melengkapi beberapa keperluan aksesoris pendukung. Casting dan popping... dan sedikit mulai lirik jigging. Adapun trolling beberapa minggu terakhir saya sudah mulai coba. Adanya kegiatan penelitian kerang bakau di gili Lawang dan Sulat memberi kesan leluasa. Sebab tinggal pasang joran dan dilakukan aksi tarik-ulur kenur selama perjalanan rute pulang-pergi gili. Yang bikin was-was justru status alat yang bukan peruntukan trolling. Dari 3 bulan berlalu, belum tunjukkan hasil. Strike baru kejadian minggu lalu. Saat lintasan boat kami melewati bilangan terumbu pinggir dekat jetti gili Sulat. Drag reel menjerit nyaring... pasti-nya ikan besar! Baru hendak menghajar, eh! mendadak jadi ringan.
Prediksi minnow terlepas, meski sudah saya kaitkan kabel nickelin di ujung line utama. Gegas gulung reel... ternyata minnow masih utuh, cuma kehilangan treble hook depan. Ring penghubung ternyata terurai... dan juga ada jejak karat. Memang sekedar pakai minnow murah-meriah harga 10 ribuan. Merk Bakau lagi, persis ekosistem yang sedang kami jelajahi. Terbukti daya handal tipe lure memang sebanding harga dan kadar mutu. 


Efek lain. Jadi kerap kunjung toko pancing. Beli asesoris tambahan. stok mata kail sampe stok timah karena sering kasus nyangkut. Istilah pemancing umumnya di anggap gak kunjung strike berarti kudu rela nyajen. Atau justru sekedar kunjung cuci mata. Mengenal berbagai perangkat yang someday bakal jadi prioritas target animo. Tentu-nya yang masih terjangkau. Ada juga sih, penasaran pingin nabung dan jajal beli alat standar advance. Cuma kadang kog malah menghalangi niat. Padahal ada sebagian angler yang punya semboyan sederhana. Ikan gak bakal kenal merk. Ngeributin mata kelilipan brand... trus kapan mau bisa menyalurkan hajat mancing dengan perasaan damai. Bahagia dan penuh nuansa relaksasi. 

ampas VCD rusak cukup bermanfaat sebagai bahan umpan buatan 
Oiya, khusus untuk lure demi support aksi casting, ternyata beri kans untuk kreatif ala mandiri. Tips sekedar siasati low-cost budget. Faktor mahal harga minnow or popper karya pabrik. Mending ber-hasta karya sendiri. Mulai dari tutup botol sampe potongan keping Compact Disc. Enaknya CD miliki kilau spektrum warna jika di terpa cahaya mentari. Serupa dengan warna khas tubuh ikan kecil yang menjadi buruan para ikan pemangsa. Kalo-pun kudu korban entah sebab kasus nyangkut atawa putus mendadak karena sambaran ikan babon, gak bakal jadi penyesalan seumur jagung. Mendingan nyajen ala kadar-nya. Bahkan lure tipe made-in sendiri ini bisa di modifikasi dengan model dan bahan seada-nya. Memanfaatkan limbah rumah tangga. Semboyan reduce...re-use.. re-cycle. Sekali lagi ingat motto simpel "ikan gak melek MERK".
Poin lain,  bermukim di zona dekat pesisir. Jadi bukan halangan untuk mudah mendatangi sajian spot potensial.  Muara... pasiran atau sekedar target ikan permukaan di dekat tumpukan krib penghalang abrasi. 
 

Salam strike !!!



catatan :

* "Iseng Ah, cari ikan sekedar buat lauk"  
** Jackfish dalam istilah sasak menyebut Langoan, Sementara di Sumbawa/etnis sulawesi rantau kerap disebut Mangali atawa Mengali.