Kamis, 25 Juli 2013

kumat Mancing.........,

Lokasi : bilangan tambak tanjung Luar - LoTim
Memancing tentu menjadi semacam hobi menyenangkan bagi sebagian penggemarnya. Konon bukan sekedar kemampuan finansial bagi yang menganggap sebagai penyaluran olahraga, sport fishing. Sekaligus wadah melatih kesabaran, insting dan sensasi strike. Hingga kepuasan mampu menaklukkan ikan buruan. Faktor yang gak bisa dipungkiri, tentu saja faktor nasib. 
Nah, soal pancing memancing buat saya pribadi semacam kegiatan yang susah dijadikan tolak ukur. Dulu, masa SD dan SMP, saya pernah gandrungi aktivitas ini. Tentu diawali akibat gaul dengan teman sepermainan, sekolah dan lingkungan rumah. Mulai dari sekedar bikin kolam kecil dan menangkap ikan sekedar pake cakupan tangan. Itupun sekedar jenis ikan kepala timah (iwak gathul : versi jawa). Yang banyak bertebaran di selokan dan lahan basah (wetland) tengah kota saat era bocah di Sumbawa Besar. Lalu sejak pindah Lombok, aktivitas mancing jadi intens dan kerap tersalur, lantaran kami tinggal di rumah keluarga yang punya banyak petakan kolam air tawar. So, memancing menjadi sirkulasi mutualism tabiat-habitat. 


lokasi : tonggak eks pelabuhan Ampenan
Beranjak mulai kenal joran dan reel perdana, saat SMP di Malang. Memancing menjadi acara pengisi hari libur. Tapi sudah agak mix dengan kegiatan lain. Biking dan berburu burung dengan air rifle. Saya menjadi punya kegiatan jelajah di kanal kecil di zona pinggiran kota. Paling jarang ikutan di kolam berbayar. Masalahnya sangu cekak! Kalopun bawa untuk sekedar beli jajan. Saya dan rekan lebih cari suasana bermain dan doyan kelayapan. Cukup melihat peluang survival ala kadar di habitat alam terbuka. Jenis yang disasar gak ada lain ikan lele, dan paling sering Kotes. Masih satu family dengan gabus atawa Tomman. Jika berhasil dapat tangkapan, paling ujung-ujungnya cemplung di kolam kecil rumah. Perbendaharaan sementara. Yah, paling apes berakhir di wajan penggorengan. Jadi tambahan santap kuliner jatah melek malam minggu dengan para misan yang tandang rumah.

Masa itu akhrnya berlalu ringkas. Paska SMA , waktu bergulir hingga saya balik lagi ke Mataram - Lombok. Bekal pancing sejak saya pake sejak SMP ikut dibawa. Itupun tidak banyak fungsi. Akhirnya beralih hak milik. Alias di pinjam teman, tapi gak pernah kembali, selama-nya! Padahal perangkat 1 set seharga Rp 15.000,- begitu banyak menyimpan kenangan petualangan. Melow yang terlambat. Hahaha....,
 Sejak itu, memancing seperti tidak pernah lagi saya tekuni. Semacam pengalihan alibi abnormal. Ah, ngapain lagi berkutat aktivitas bocah. Ego janggal... ah! toh dulu pernah lakukan itu. Bosan! konsentrasi jenuh. Pengalihan berikutnya memang saya lebih kecantol hobi lain, Drawing. Bukan aktivitas baru sih, justru berdayakan energi curiosita yang terbentuk sejak awal. Hidayah talenta barangkali. Dan kebetulan masih awal kuliah di bidang Komputasi. Sama sekali gak kepingin jajal jagat perpancingan. Padahal di Lombok, gak perlu jauh-jauh mencari spot lokasi. Baik tawar maupun laut. Terjangkau dari segi waktu dan biaya.


Jeda panjang...., 
Masa awal 92'an seolah era kegelapan untuk urusan mancing. Tapi bukan berarti saya sama sekali gak bersinggungan dengan dunia ikan. Justru pindah bermukim, "menjauh" dari ortu dan ikut bude di Lombok, saya kecipratan aktivitas baru. Kebetulan di lokasi saya bernaung, juga berkutat sekretariat Klub Penyelaman. Nama-nya Rinjani Diving Club. Otomatis terbentuk secara dampak lingkungan. Olahraga renang menjadi menu tiap minggu. Pembentukan mental dan kawah candradimuka yang 'beda'. Dari sekedar memperbaiki gaya renang standar, bukan lagi 'asal' gaya kali. Perkenalan alat snorkeling hingga scuba. Menekuni profesi sebagai dive-guide. Sampai melakukan pekerjaan lain bersifat komersial diving meski tetap berbasis perangkat Scuba. Mencari jangkar kapal feri yang hilang, membersihkan bagian lambung feri maupun yacht milik orang bule. Pembersihan as alur propeler kapal feri yang ngadat akibat disusupi jaring nelayan. Pekerjaan salvage ala kadar... pekerjaan inspeksi bawah air. Dokumentasi foto, dan masih sederet item pekerjan lain. Di lingkup aksi sosial paling-paling tergabung dalam tim SAR. Utamanya bila ada kecelakaan laut yang dialami kapal penumpang. Memburu beberapa jasad korban yang tersangkut di kapal karam. Semua-nya memberi warna tersendiri. Komplit suka-duka yang mengiringi-nya.    



that's me, tubir miring terumbu gili Lawang - Lombok Timur.
FACE TO FISH...., Bertatap langsung dengan biota dalam air? tentu saja!!! Justru sejak geluti olahraga selam saya jadi leluasa bercengkrama dengan mahluk air. Tidak lagi sekedar ikan. Tapi beberapa biota khas lain. Tetap menjanjikan wawasan edukasi lingkungan.
Apalagi ketika dapat pembekalan MPTK (Metode Penelitian Terumbu Karang). Semacam pakem standarisasi tehnis sensus karang dan ikan. Betapa pengkayaan materi itu kian menambah khazanah dunia Bahari. Paham... dan sekaligus memupuk rasa peduli. Cara pendekatan yang perlahan terbentuk oleh porsi simbiosis mutualism. Secara gak langsung seolah tertanam solidaritas. Terpatri bak doktrin dengan cara tersendiri. Namun bukan berarti saya antipati makan ikan. Lalu latah jadi mahluk herbivora binti vegetarian. Enggak lah! Masih taraf normal paham nilai gizi dan protein. Betapa lebih gurih ikan segar. Daripada ganyang isi sarden kaleng maupun ikan asin. 

dengan pose gini... serasa saya menjelma profile mbok jamu
Beda-nya gini.., kalo dulu mancing gak peduli jenis apapun yang terangkat kail. Kini lebih mawas dan bisa pilah-pilih. Artinya jenis apa yang enak. Ambil dengan size ideal... jangan sasar indukan dan tipe baby-fish. Tehnik buru juga beda. lebih mengandalkan spear-gun. Alias panah ikan. Sisi efektif-nya, di dukung peralatan scuba kami bisa lebih leluasa cari spot ikan potensial. Sementara jatah Night Dive dilakukan untuk mencari lobster di ceruk dan liang karang identik persembunyiannya. 


di karamba stingray.. pastinya itu bukan Steve Irwin

Memancing, perlahan mulai saya gemari lagi. Terhitung sejak tahun 2000 ke-atas. Tapi tidak dengan kecenderungan drastis. Minat kambuh gara-gara liat para boat-man selalu mengisi luang disaat perahu yang kami gunakan survey kegiatan laut. Selagi beberapa surveyor meneliti parameter kondisi air. Saya nyemplung dasar laut atau sekedar pengamatan via aksi snorkeling. Iseng, para boatman dan kernet-nya mulai memancing. Seloroh umum yang mereka ucapkan, "maeh, poroq-poroq boyak empak kadu kanduk" * 
Sirkulasi ini semacam melahirkan pencerahan pembaharu buat saya. Betapa mereka masih berpikir alternatif membawa "sesuatu" bekal pulang untuk sekedar penuhi asupan gizi keluarga. Hanya bekal metode standar. Pancing dasar tipe hand-line untuk buru ikan dasaran substrate. Dan biasa disambi mancing ikan pelagis. Target kuwe alias jack** dan Tengiri. Tangkapan ikan dasar yang berukuran kecil/medium kerap langsung dijadikan umpan hidup. Menggugah minat jajal. Pematik hal baru. Metode sahaja dan beda cara tangkap acap justru memancing reaktif.


lokasi : embung jalan Airlangga - Mataram
Setidaknya, daya perca mozaik visual tadi semakin akut. Tiap ada kesempatan saya mulai ikut mancing, selagi tidak usik porsi kerja utama. Sekedar pancing dasar ala hand-line. Cukup menyenangkan. Perlahan saya mulai bisa menikmati. Seperti mengulas titian memori, 'benang-merah' masa bocah dulu. Betapa asyik-nya jalani peran si Bolang

Satu sisi saya mulai paham, selama ini kenapa saya jadi ogah tekuni hobi ini. Ternyata selain alasan butuh waktu tersendiri, memancing juga perlu konsentrasi dan kesabaran tingkat tertentu. Kita gak akan pernah bisa merasakan esensi-nya jika masih dibaur dengan kegiatan lain. Apalagi di jatah waktu yang bersamaan. Non sense terlaksana ! Inti-nya, cuma memperkuat tekun dan niat. Tujuan mancing, yah sudah mancing saja. Jangan tergerak belah fokus lakukan aktivitas lain. Sesederhana itu saja, tanpa ada perasaan sesal sekalipun hasil boncos. Hasil hampa tanpa tangkapan sekalipun. Justru malah menimbulkan efek penasaran lagi, seolah terpatri sugesti 'next will be better'.
 

Syukurnya, saya mulai ada teman yang memang benaran demen mancing. Awal saya masih pinjam perangkat. Belakangan mulai tergerak beli sendiri. Alasannya lebih baik mengenal akrab alat pribadi. Kalaupun ada resiko alat rusak, itu sudah menjadi konsekuensi. Perlahan saya mulai doyan keluar-masuk toko pancing. Melengkapi beberapa keperluan aksesoris pendukung. Casting dan popping... dan sedikit mulai lirik jigging. Adapun trolling beberapa minggu terakhir saya sudah mulai coba. Adanya kegiatan penelitian kerang bakau di gili Lawang dan Sulat memberi kesan leluasa. Sebab tinggal pasang joran dan dilakukan aksi tarik-ulur kenur selama perjalanan rute pulang-pergi gili. Yang bikin was-was justru status alat yang bukan peruntukan trolling. Dari 3 bulan berlalu, belum tunjukkan hasil. Strike baru kejadian minggu lalu. Saat lintasan boat kami melewati bilangan terumbu pinggir dekat jetti gili Sulat. Drag reel menjerit nyaring... pasti-nya ikan besar! Baru hendak menghajar, eh! mendadak jadi ringan.
Prediksi minnow terlepas, meski sudah saya kaitkan kabel nickelin di ujung line utama. Gegas gulung reel... ternyata minnow masih utuh, cuma kehilangan treble hook depan. Ring penghubung ternyata terurai... dan juga ada jejak karat. Memang sekedar pakai minnow murah-meriah harga 10 ribuan. Merk Bakau lagi, persis ekosistem yang sedang kami jelajahi. Terbukti daya handal tipe lure memang sebanding harga dan kadar mutu. 


Efek lain. Jadi kerap kunjung toko pancing. Beli asesoris tambahan. stok mata kail sampe stok timah karena sering kasus nyangkut. Istilah pemancing umumnya di anggap gak kunjung strike berarti kudu rela nyajen. Atau justru sekedar kunjung cuci mata. Mengenal berbagai perangkat yang someday bakal jadi prioritas target animo. Tentu-nya yang masih terjangkau. Ada juga sih, penasaran pingin nabung dan jajal beli alat standar advance. Cuma kadang kog malah menghalangi niat. Padahal ada sebagian angler yang punya semboyan sederhana. Ikan gak bakal kenal merk. Ngeributin mata kelilipan brand... trus kapan mau bisa menyalurkan hajat mancing dengan perasaan damai. Bahagia dan penuh nuansa relaksasi. 

ampas VCD rusak cukup bermanfaat sebagai bahan umpan buatan 
Oiya, khusus untuk lure demi support aksi casting, ternyata beri kans untuk kreatif ala mandiri. Tips sekedar siasati low-cost budget. Faktor mahal harga minnow or popper karya pabrik. Mending ber-hasta karya sendiri. Mulai dari tutup botol sampe potongan keping Compact Disc. Enaknya CD miliki kilau spektrum warna jika di terpa cahaya mentari. Serupa dengan warna khas tubuh ikan kecil yang menjadi buruan para ikan pemangsa. Kalo-pun kudu korban entah sebab kasus nyangkut atawa putus mendadak karena sambaran ikan babon, gak bakal jadi penyesalan seumur jagung. Mendingan nyajen ala kadar-nya. Bahkan lure tipe made-in sendiri ini bisa di modifikasi dengan model dan bahan seada-nya. Memanfaatkan limbah rumah tangga. Semboyan reduce...re-use.. re-cycle. Sekali lagi ingat motto simpel "ikan gak melek MERK".
Poin lain,  bermukim di zona dekat pesisir. Jadi bukan halangan untuk mudah mendatangi sajian spot potensial.  Muara... pasiran atau sekedar target ikan permukaan di dekat tumpukan krib penghalang abrasi. 
 

Salam strike !!!



catatan :

* "Iseng Ah, cari ikan sekedar buat lauk"  
** Jackfish dalam istilah sasak menyebut Langoan, Sementara di Sumbawa/etnis sulawesi rantau kerap disebut Mangali atawa Mengali.

Tidak ada komentar: