Minggu, 18 September 2016

Bisnis Sirip Hiu.. komunal Bajo & sejarah Maritim.

Menyoal Tanjung Luar yang kadang terlalu acap diliput sebagai berbagai media tanah air. Bisa di maklumi ujung-nya kawasan ini seolah di munculkan sebagai "spot" ekploitasi paling terwakili jadi profil suram jagat maritim Indonesia. Padahal persoalan-nya gak sesederhana itu. Bisnis ini sudah mengakar kuat sejak lintas peradaban. Terjalin erat..antara korporasi kuliner eksotis..sindikat dagang..pialang..dan nelayan. 

Bahkan, sejak lawatan Alfred Russel Wallace ke gumi Nusantara. hingga melahirkan karya "The Malay Archipelago" (1869). Bab catatan kunjungan ke Lombok dan Sulawesi juga termaktub. Hingga kelak lahir istilah garis wallace (klasifikasi pembagian teritori fauna). Saat itu dia juga mencatat tentang aktivitas perburuan hiu yang dilakukan oleh komunitas Bajo. Hingga merayap teritorial laut barat Australia. Bayangkan sendiri.. betapa lestari-nya kegiatan ini pada lintas peradapan yang bergulir.
Nah, yang lebih menarik lagi. Pernah ni sekali waktu seorang peneliti Hobbit (manusia kerdil purba-Liang Bua) sekaligus konsultan Sanitasi asal aussie. Dimana kami pernah berinteraksi pada kegiatan sama. Dalam dialog intens dia memaparkan tentang alur sejarah panjang tentang masyarakat Bajo yang sudah kerap 'mampir' disana. Besar kemungkinan telah bercengkrama lebih akrab dengan penghuni asli Aborigin. Meski dikurun warsa-warsa itu Australia memang sdh diakui sebagai lahan resmi Britania Raya. Sejak berstatus tempat pembuangan para kriminal. hingga mengalami laju hijrah arus migran asal Eropa. Sejak tambang emas menjadi faktor magnet utama-nya. (wiki/Australia).


Mau tau apa peninggalan komunal nelayan Bajo disana? gak lain..gak bukan, adalah tegakan dan sebaran pohon Asem** (kurma India). Si Tamarindus indica itu. Para "Gipsy Laut" mereka ini yang nanem. Karena asem sudah merupakan bahan menu masak yang wajib dibawa di perhelatan lintas samudra. Artinya vegetasi ini ditengarai bukan tanaman asli. Mereka tumbuh atas campur tangan manusia pembawa-nya. Berbeda dengan tanaman khas ekosistem Mangrove yang memiliki tipikal sama di belahan dunia manapun. Karena mangrove adalah tanaman khas pesisir. dianugrahi kemampuan trans-lokasi ala mandiri. Katakan semacam buah jenis Rhizophora dengan putik buah panjang itu. Pada etape masak.. nyemplung air..lalu bergerak mengikuti tabiat arus laut. Kemana-pun pergi. Sesuai titah fitrah dan emban misi sang pencipta-Nya. "Tuh... berkutatlah disana...hijau-kan green belt pesisih-pesisih inyo!"
Kembali pada masyarakat Tanjung Luar. yang berdasarkan pengakuan mereka-pun rana kunjung juga hampir ke perbatasaan Australia. Toh, beberapa warga LabuhanBajo (NTT) mengakui mereka kerap kunjung lokasi sama. Yang berarti secara turun-temurun spot disana secara 'de facto' dikenal sebagai "spot wilayah tangkap". Hihihi....di poin ini saya mendadak cengar-cengir. Padu-padankan dengan kasus perairan Natuna di Laut China Selatan yang marak konflik RI-RRC itu. RRC ngeyel mengklaim klo itu adalah "Tradisional Fishing Ground". yang sudah mereka keruk dari jaman" bahula. Meskipun itu sudah jadi wilayah kedaulatan RI. Bayangkan saja..., klo modal alasan "tradisional fishing ground" apa susahnya juga kita ngeklaim wilayah perairan Australia utara berdasarkan fakta sejarah suku Bajo tadi. :) Dengan mengabaikan kedaulatan Aussie..toh warga asli-nya adalah trah dinasti Aborigin. Yah. Tanjung Luar itu baru sepotong zona yang dikenal. Kebetulan ber-akses prasarana mudah dicapai. Transportasi gampang. Liputan reportase langsung jadi..ujug" blar! semacam trending topik yang paling riskan untuk di ulas. Jika sewaktu-waktu diperlukan..layak sebagai pengalihan isu dari tema ekploitasi sumber daya perairan. Tanjung Luar itu cuma alibi andalan :) Bisa kalian bayangkan.. Indonesia seluas ini. Penduduk/pemukim dengan status pulau-pulau terluar dan tersentuh modernisasi. Tapi warga-nya telah hidup dari kesinambungan hasil laut. Apakah tidak ter-ekploitasi? Katakan saja kita berfokus di wilayah timur..sebelah kanan garis Wallacea yang lebih marak gugus nusa kecil dan imut-imut. Tidak adakah bisnis sirip?.. ah! naif juga klo kita menutup mata perihal fakta para Gypsy-Laut. Tidak adakah pengusaha sektor kelautan yang melihat dan menangkap peluang maha kaya dari peta potensi sumber daya di kutub Indonesia timur. Oh iya.. ibu mentri kita itu. pemilik Susy Air. Begitu hebat... tidak saja menguasai lintas udara sejarah harfiah. Air in-english itu udara..air ya air. Perairan. Tapi saya yakin beliau gak mungkin jadi penampung ilegal fishing macem empak-empak kliyu tiye! Beliau pembasmi kapal-kapal iilegal fishing asal china yang handal. diNatuna-dinatuni..., 
Don't be negatif thingking... Rumangsa-mu... Prasamu...syak-syak wasongko... wingko taburan roso iwak pindang!


Note : soal pohon asem. yang kerap ditanam oleh para pelaut Bugis maupun para nelayan suku Bajo sebagai gypsi laut. cuplikan dari kanal wikipedia. Pelaut-pelaut Bugis pada masa lalu diketahui menanam pohon asam jawa di pantai utara Australia, di Northern Territory di saat mereka beristirahat menunggu datangnya angin untuk kembali ke daerah asal. Pohon-pohon asam jawa ini menjadi petunjuk kontak orang Aborigin setempat terhadap orang luar sebelum kedatangan orang Eropa. Catet ya...sebelum orang Eropa datang!!

Tidak ada komentar: